Selasa, 27 Agustus 2013

Ritual Penanaman Pada Cara Hindu

Ritual Nulak Bikul ‘menolak tikus’ dilaksanakan oleh para petani apabila di sawah terlihat banyak tikus yang merusak tanaman padi. Ada sebuah kepercayaan yang mengatakan, bahwa tikus-tikus itu datang merusak karena ada yang memerintahkan. Dalam hal ini bukan tikus yang salah, melainkan petani yang kurang melaksanakan ritual. Para petani percaya, bahwa tikus-tikus itu tidak akan habis hanya oleh festisida ataupun racun tikus, tapi harus disertai dengan ritual tertentu.

Wujud ritual untuk mengusir atau menolak tikus ada bermacam-macam. Salah satu contohnya adalah dengan menghaturkan canang, nasi merah dibungkus daun dapdap, dengan tempat batok kelapa ditempatkan di pojok-pojok sawah.

Masing-masing ritual ini memiliki makna: canang sebagai lambang Tuhan dalam wujud Tri Murthi, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Nasi yang berwarna merah yang ditaruh di setiap pojok sawah dimaksudkan sebagai suguhan kepada penjaga empat penjuru arah, masing-masing: Sri Raksa di timur laut, Sang Aji Raksa di tenggara, Sang Ludra Raksa di barat daya dan Kala Raksa di barat laut.

Jadi ritual penolak tikus itu dilaksanakan oleh petani dengan niat atau pikiran yang suci memohon kepada Tuhan sebagai Tri Murthi dan manifestasiNya, agar memperoleh keberhasilan atau selamat dari gangguan hama tikus. Ritual nulak bikul ini dilaksanakan di bedugul dan di sawah. Berikut saa yang digunakan dalam ritual nulak bikul:

“Om sang meng putih, ula putih,
Lamun wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Wani Ki Tikus Putih amangan Bhatari Sri,
Lamun tan wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Tan wani Ki Tikus Putih,
Hamangan Bhatara Sri,
Cangkem sira bungkem”

Beberapa ritual penanaman dan panen Padi

Upacara mambiak padi di Sumatera Barat.
Sebelum panen dilaksanakan, terlebih dahulu padi dituai (dipanen) sebanyak genggaman orang dewasa, kemudian digendong dengan kain putih dan dibawa pulang. Di rumah, padi ini diletakkan di  tonggak tuo (tiang utama rumah gadang). Selanjutnya padi ditumbuak (dijadikan beras), dicampur dengan padi sisa panen sebelumnya lalu dimasak dan dimakan bersama, yang dinamakan mamakan hulu tahun (memakan beras baru). Sebelum mamakan hulu tahun ini, terlebih dahulu diawali dengan pembacaan mantra oleh seorang pawang. Upacara maambiak padi ini dimaksudkan untuk memanjatkan rasa syukur ke hadapan Yang Maha Kuasa, bahwa tanaman padi mereka dapat dipanen dengan baik. Setelah upacara ini selesai, baru lah panen yang sesungguhnya dilaksanakan. Pada saat panen ini, biasanya para perempuan melakukan basidodok (suatu nyanyian berbalas pantun yang hanya dilakukan oleh para perempuan pada waktu menuai padi di sawah).
Semua bentuk upacara adat tersebut di atas, selalu diawali terlebih dahulu dengan menyiap kan pambaokan, membakar kemenyan, dan mengucapkan mantra-mantra yang dilakukan oleh seorang pawang.
Pemanfaatan unsur-unsur yang khas animisme tersebut di atas tidak “murni” lagi, karena unsur-unsur animisme ini telah “diselubungi” dengan unsur-unsur kepercayaan Hindu dan Islam. Ini terlihat ketika penyelenggara upacara menyiapkan pambaokan(semacam sesaji) bagi arwah nenek moyangnya pada sebuah dulang (nampan) terbuat dari kuningan. Dulang ini diisi dengan berbagai macam makanan, seperti buah-buahan, nasi kunyik (nasi dari beras ketan yang dimasak dengan kunyit), bareh rondang (beras yang direndang), bermacam-macam kembang, dan yang paling penting sekali, di tengah-tengah dulang diletakkan perapian (semacam dupa) terbuat dari tanah.
Di samping itu, terdapat pula unsur-unsur kepercayaan Islam dalam penyelenggaraan upacara adat tersebut. Unsur-unsur ini muncul ketika pawang mulai mengucapkan mantra-mantranya. Pembukaan mantra selalu menggunakan kataBismillahirrahmanirrahim, penggantian kata-kata dewa, atau penguasa , dan sejenisnya dengan kata Allah, Nabi Muhammad S.A.W., Nabi Khaidir, Nabi Sulaiman, dan sebagainya yang bercirikan konsep agama Islam.

Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa, telah terjadi penyesuaian era animisme dengan era Hindu dan Islam yang menjadi spesifikasi dan identitas kultur masyarakat Nagari Taeh Baruah. Bahkan di beberapa kawasan di Minangkabau, terdapat penyesuaian aktivitas semacam ini dalam upacara tabuik di Pariaman, upacara batagak panghulu 22 dengan gandang sarunainya 23 di Sungai Pagu, dan sebagainya.